INILAH.COM, Jakarta - Di tengah minimnya prestasi kerja
para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode kedua, sebanyak 7
Menteri mendapat penghargaan dari Presiden SBY. Penghargaan yang
mengatasnamakan negara itu, dengan kategori Bintang Mahaputera
Adipradana, terasa dipaksakan.
Mereka yang memperoleh
penghargaan adalah Hatta Rajasa (Menko Perekonomian), Jero Wacik (Energi
dan Sumber Daya Mineral), Joko Kirmanto (Pekerjaan Umum), M Nuh
(Pendidikan dan Kebudayaan), Mari Elka Pangestu (Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif), Suryadharma Ali (Agama) dan Sudi Silalahi (Sekretaris Negara).
Penghargaan
tersebut merupakan salah satu hak prerogatif Presiden dan dijamin oleh
konstitusi. Sehingga mau tidak mau harus diamini oleh seluruh rakyat.
Siapapun rakyat yang melihat penghargaan itu tidak pantas, tetap saja
'harus' bisa menerima dan bersetuju. Mengapa pemberian penghargaan itu
perlu dikritisi atau dipersoalkan dan dilihat sebagai sebuah keputusan
yang tidak pantas?
Banyak alasannya. Tetapi agar lebih mudah
mencermatinya, cukup diringkas menjadi dua kategori saja : psikologis
dan fakta aktual. Secara psikologis momentum waktu yang dipilih tidak
tepat. Momentum sekarang, bukan era dimana pemerintah mengobral
penghargaan. Rakyat semakin cerdas dan sulit dibohongi. Kalau memang
tidak pantas, sekalipun penghargaan itu ditulis dengan tinta emas,
dampaknya tak akan membuat rakyat otomatis menghargai para pejabat
negara penerimanya.
Seorang Menteri yang diangkat oleh Presiden
kemudian bersumpah akan bekerja sebaik-baiknya bagi bangsa dan negara
kemudian atas sumpah itu ia diberi berbagai fasilitas, sebesar apapun
prestasinya tak pantas diberi penghargaan. Bekerja dengan prestasi
terbaik, sudah menjadi kewajibannya.
Lain halnya kalau dalam
tugasnya sebagai Menteri, yang bersangkutan nyaris kehilangan nyawa.
Kalau sampai kehilangan nyawa, keluarganya lah yang berhak menerima
penghargaan. Dapat dipastikan, semua Menteri yang Selasa 13 Agustus ini
menerima penghargaan, belum sampai mengalami situasi seperti di atas.
Yang
patut mendapat penghargaan adalah rakyat jelata, non pejabat, yang
bekerja tanpa fasilitas negara, tapi dia bisa berbuat sesuatu bagi
bangsa dan negara. Walaupun penghargaan itu dikaitkan dengan kegiatan
perayaan tahunan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, waktunya tetap tidak
tepat. Jika mau dipaksakan akan lebih bijaksana apabila pemberian
penghargaan dilakukan pada Agustus 2014, saat masa bakti KIB II akan
segera berakhir.
Semakin tidak tepat waktunya karena sebetulnya
rakyat sudah letih dengan segala aktifitas para menteri. Hampir semua
nenteri mengekor pada Presiden SBY yaitu berlomba melakukan kampanye
pencitraan. Saking bersemangatnya, hampir tak ada anggota kabinet yang
tidak memasang baliho yang dihiasi dengan foto pribadi.
Pemandangan
di jalan-jalan raya apakah di Jakarta atau luar Ibu Kota,
memperlihatkan rata-rata para Menteri KIB II meniru gaya para pejabat di
negara-negara sosialis (komunis). Mereka suka memasang foto dalam
ukuran besar di jalan-jalan. Ingin menggambarkan sisi positif,
kegantengannya kalau ia seorang laki-laki, atau sebagai pejabat
(politbiro) ia cukup merakyat, mengayomi dan sebagainya.
Intinya
para anggota KIB rata-rata sibuk mengejar dan menggelar pencitraan.
Lantas akibat dari kegiatan pencitraan itu, kini, Presiden SBY atas nama
negara, rakyat lalu mengeluarkaan penghargaan. Otomatis pemberian
penghargaan itu menimbulkan persepsi sebuah kebijakaan yang tidak
berkualitas. Penghargaan itu lagi-lagi terkesan sebuah agenda
pencitraan. Jika para menteri mendapat penghargaan, berarti pimpinan
mereka (Presiden SBY), juga pantas mendapat penghargaan.
Muncul
kesan pemberian penghargaan tidak berpijak pada kriteria yang jelas.
Atau kriteria yang digunakan tak dapat dipertanggunggung jawabkan.
Pemberian penghargaan tidak berpijak pada situasi obyektif yang ada di
masyarakat.
Dan kalau keluarnya penghargaan itu terjadi oleh
karena prakarsa Presiden SBY, maka semakin jelas, SBY sudah kehilangan
kepekaannya atas situasi riil yang terjadi di masyarakat. SBY dan rakyat
yang dia pimpin semakin dibatasi oleh jurang pemisah yang lebar, jurang
mana diciptakan sendiri oleh Presiden SBY.
Semua menteri yang
menerima penghargaan belum menyelesaikan tugas konstitusional mereka.
Hampir semua menteri penerima penghargaan sedang menghadapi masalah dan
masalah itu belum diselesaikan. Sorotan masyarakat terhadap kelemahan
dan kinerja para Menteri, hampir setiap hari muncul di media-media
sosial maupun media main-stream.
Salah satu contohnya Menteri
Pendidikan M Nuh. Sebanyak 7.830 orang Facebookers membentuk kekerabatan
dengan semboyan "Gerakan Pecat Muhammad Nuh dari Menteri Pendidikan".
Gerakan Rakyat ini mereka bentuk sebagai akibat dari kegagalan
Kementerian Pendidikan menggelar Ujian Nasional secara baik di 2013 ini.
Para orang tua murid terus mencela Menteri Nuh tetapi Presiden seakan
tidak peduli suara rakyat.
Baru-baru ini Kementerian yang
dipimpinnya mendapat rapor merah dari Ombudsman, sebuah bukti pemberian
penghargaan yang akan diterimanya Selasa 13 Agustus 2013, sangat
kontroversil. Menteri Nuh justru merasa aneh dengan penilaian Ombudsman
itu. Lagi-lagi Presiden SBY tidak bereaksi atas kinerja Menteri Nuh.
Bahkan
yang lebih mnengagetkan dari tindakan Pak Menteri – di tengah sorotan
atas kegagalan Kementeriannya menyelenggarakan Ujian Nasional secara
baik, eks Rektor Institute Teknologi Surabaya itu meminta supaya KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk menyelidiki tentang kemungkinan
terjadinya skandal korupsi di lembaga yang dia pimpin.
Mengagetkan
sebab semestinya Menteri Nuh sadar bahwa dia sedang dalam sorotan
sebagai pejabat negara yang tidak bertindak atas terjadinya penyalah
gunaan dana pemerintah untuk Ujian Nasional 2013 ini.
Uniknya
sekalipun berbagai karikatur dan parodi disebar oleh berbagai media atas
langkah-langkah mengagetkan Menteri Nuh, tetapi yang bersangkutan
seperti kata anak-anak baru gede (ABG) : "nggak ngaruh tuh..."
Kalau
dibuat sebuah rekapitulasi singkat hampir semua Menteri yang mendapat
penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana, sedang bermasalah: Menteri
Hatta Rajasa, masih terus berupaya untuk mengatasi kenaikan harga
kebutuhan utama.
Menteri Jero Wacik, sikapnya yang maju mundur
tentang kapan pengumuman kenaikan harga BBM tahun ini telah menimbulkan
berbagai spekulasi ekonomi yang akibatnya merugikan rakyat banyak.
Menteri
Joko Kirmanto seharusnya malu dengan proyek perbaikan jalan Pantura.
Selain anggarannya terus membengkak dari tahun ke tahun, proyek itu
sudah menjadi bahan tertawaan. Ada yang menyebut proyek itu mengalahkan
durasi pekerjaan membangun Patung Sphynx di Mesir.
Menteri Elka
Pangestu, kalau memang dianggap berprestasi, mengapa digeser dari
Kementerian Perdagangan yang portofolionya memang lebih besar dibanding
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ?
Menteri Suryadharma
Ali, juga masih harus melakukan pembenahan di tubuh kementriannya
terkait beberapa kasus korupsi seperti pencetakan Alqur'an yang saat ini
sedang disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Juga
keluhan tentang perselisihan antara Ahmadiyah dan komunitas Islam belum
terselesaikan.
Lalu dimana prestasi sang Menteri sehingga wajar mendapat penghargaan dari negara dengan kategori Bintang Mahaputra?